Feeds:
Posts
Comments

kunjungi “rumah” resmi saya di sini

Kresek, Oh, Kresek…

Belakangan ini, sulit banget diet kresek. Tiap habis dari pasar, pasti aja ada oleh-oleh 2-3 lembar kresek. Kayaknya para pedagang udah hafal kebiasaanku menolak kresek tiap aku belanja. Jadi mereka cepet-cepetan masukkin belanjaanku ke dalam kresek sebelum aku menolaknya.

Padahal dari rumah aku bawa kresek bekas yang masih bisa dipakai. Tapi seringnya malah nggak berguna karena belanjaanku udah dikresekin sama penjualnya.

Sebenarnya, sih, asalkan kreseknya masih bersih, aku bisa nyimpennya dan kupakai lagi kalau belanja. Tapi lama-lama, numpuk juga kresek barunya. Ditambah kresek lama. Aaaah…

2022

Selamat tahun baru 2022, Teman-teman!

Aku nggak akan nulis resolusi di sini (karena belum bikin, hehe). Nggak akan bikin ramalan juga. Dan nggak akan mengulas angka 2022.

I just wanna welcome and say hello to this new year. Pastinya kita semua berharap pandemi berakhir tahun ini juga, si korona nggak beranak-pinak melulu, nggak ada tes-tesan apapun kalau mau pergi-pergi jauh.

Gitu aja, sih. Yang detail-detail mah kusimpan sendiri aja.

Sehat dan happy selalu, ya…

Robot yang Jenuh

Sudah dua bulan nggak ngisi blog satu lagi. Padahal banyak banget yang pengin diceritain. Mulai dari pandemi yang lagi gawat-gawatnya, sirene ambulans dan speaker masjid yang bikin suasana mengerikan (yang ini pernah ditulis, sih), kangen sama keluarga di Bandung, Akira yang mulai sekolah, keinginan untuk hidup minimalis dan less waste yang nggak ada progresnya, tips menyimpan bahan makanan, bosen di rumah melulu sampai gabut terus gambar-gambar nggak jelas di hp, sampai sakit flu yang mencurigakan gara-gara dua tetangga di depan rumah kami isoman.

Harusnya semua itu ditulis dan dimuat di blog satu lagi. Tapi waktu mau nulis, malah mikir berulang-ulang, pantas nggak ditulis? Apa esensi tulisanku itu? Gimana cara nyeritainnya biar nggak ngebosenin? Kebanyakan mikir gitu malah nggak jadi-jadi tulisannya. Nggak ada yang bisa diposting, deh, selain curhatan kayak gini.

Baca-baca juga males. Kebanyakan buku tentang minimalis jadinya malah bosen dan bisa-bisa urunglah rencanaku jadi minimalis. Beres-beres rumah juga kayak nggak ada hasilnya. Karena barang-barang yang udah di-declutter bingung mau dikemanain. Tetep aja numpuk.

Singkatnya… jenuh. Mungkin itu satu-satunya kata yang bisa ngewakilin mood-ku sekarang. Dari bangun tidur sampai waktu tidur lagi, aku kayak robot yang ngerjain segala sesuatunya karena harus aja, bukan karena suka.

Robot yang jenuh. Mungkin aneh, ya. Karena jenuh itu pake perasaan, sementara robot, kan, pake mesin. Tapi kalau bukan robot yang jenuh, terus apa, dong?

Sirene

Suatu tengah malam, saya bangun dan ke kamar mandi. Terdengar sirene ambulan di kejauhan (bukan di kompleks). Seketika terbit rasa takut dan was-was (dalam bahasa Sunda, perasaan ini diwakilkan dengan istilah “keueung”). Terngiang berita di koran, medsos, dan radio perihal situasi sekarang. Belum lagi dalam seminggu ini, hampir tiap hari saya dengar pengumuman duka di masjid.

Bumi ada di bawah kendali virus. Manusia seperti boneka yang dipaksa mengikuti kemauannya. El Maut bahkan tidak ragu mencabut nyawa mereka yang sedang isoman atau dalam perjalanan menemukan rumah sakit. Kematian, akhir-akhir ini, tidak lagi didominasi kriminalitas yang melibatkan darah, tetapi melalui sentuhan tangan atau percikan liur.

Cerita mama, kampung halaman benar-benar tidak aman. Banyak orang yang kami kenal meninggal gegara covid. Saya membayangkan, kelak saat pandemi ini usai dan saya bisa mudik, ada banyak hal yang tidak lagi sama. Saya hanya berharap, semoga keluarga saya tetap utuh dan sehat. Anggota boleh bertambah, tapi jangan ada yang berkurang.

Tahun lalu Surabaya sampai zona hitam karena banyak warga yang terdeteksi reaktif atau positif. Namun situasinya tidak mengerikan seperti sekarang. Mungkin karena RS pada kewalahan menampung pasien covid, sehingga mereka yang terinfeksi terancam kesembuhannya.

Selain memakai masker, menjaga jarak merupakan aturan yang tidak boleh dilanggar. Namun ini bisa jadi dilema. Bagi lansia yang tinggal seorang diri atau hanya berdua, tentu butuh orang lain untuk menjaga. Sama halnya dengan anak yang membutuhkan sentuhan orang tuanya. Tetapi jika harus dijaga, jarak pun jadi terbatas.

Contoh lainnya adalah mengikuti pemberitaan tentang pandemi. Wawasan percovidan kita bisa banyak dengan menonton berita. Di sisi lain, berita juga bisa jadi biang kegelisahan. Belum lagi kalau ada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan kita. Emosi turut menyumbang penurunan imun.

Kita senantiasa berusaha menjaga diri demi diri kita sendiri dan orang lain selama hampir 1,5 tahun terakhir ini. Jika semua ikhtiar sudah kita upayakan, hal terakhir yang bisa lakukan adalah berdoa. Semoga yang sehat tetap sehat. Semoga yang sakit segera diberi kesembuhan.

Dan semoga pandemi segera berakhir.