Suatu tengah malam, saya bangun dan ke kamar mandi. Terdengar sirene ambulan di kejauhan (bukan di kompleks). Seketika terbit rasa takut dan was-was (dalam bahasa Sunda, perasaan ini diwakilkan dengan istilah “keueung”). Terngiang berita di koran, medsos, dan radio perihal situasi sekarang. Belum lagi dalam seminggu ini, hampir tiap hari saya dengar pengumuman duka di masjid.
Bumi ada di bawah kendali virus. Manusia seperti boneka yang dipaksa mengikuti kemauannya. El Maut bahkan tidak ragu mencabut nyawa mereka yang sedang isoman atau dalam perjalanan menemukan rumah sakit. Kematian, akhir-akhir ini, tidak lagi didominasi kriminalitas yang melibatkan darah, tetapi melalui sentuhan tangan atau percikan liur.
Cerita mama, kampung halaman benar-benar tidak aman. Banyak orang yang kami kenal meninggal gegara covid. Saya membayangkan, kelak saat pandemi ini usai dan saya bisa mudik, ada banyak hal yang tidak lagi sama. Saya hanya berharap, semoga keluarga saya tetap utuh dan sehat. Anggota boleh bertambah, tapi jangan ada yang berkurang.
Tahun lalu Surabaya sampai zona hitam karena banyak warga yang terdeteksi reaktif atau positif. Namun situasinya tidak mengerikan seperti sekarang. Mungkin karena RS pada kewalahan menampung pasien covid, sehingga mereka yang terinfeksi terancam kesembuhannya.
Selain memakai masker, menjaga jarak merupakan aturan yang tidak boleh dilanggar. Namun ini bisa jadi dilema. Bagi lansia yang tinggal seorang diri atau hanya berdua, tentu butuh orang lain untuk menjaga. Sama halnya dengan anak yang membutuhkan sentuhan orang tuanya. Tetapi jika harus dijaga, jarak pun jadi terbatas.
Contoh lainnya adalah mengikuti pemberitaan tentang pandemi. Wawasan percovidan kita bisa banyak dengan menonton berita. Di sisi lain, berita juga bisa jadi biang kegelisahan. Belum lagi kalau ada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan kita. Emosi turut menyumbang penurunan imun.
Kita senantiasa berusaha menjaga diri demi diri kita sendiri dan orang lain selama hampir 1,5 tahun terakhir ini. Jika semua ikhtiar sudah kita upayakan, hal terakhir yang bisa lakukan adalah berdoa. Semoga yang sehat tetap sehat. Semoga yang sakit segera diberi kesembuhan.
Dan semoga pandemi segera berakhir.